Rhamnosa
7 min readSep 1, 2023

Benarkah Anthrax Masih Mewabah di Indonesia?

Bakteri penyebab Anthrax

Tahukah kamu, anthrax pernah dijadikan sebagai “biological weapon” pada perang dunia 1 & 2. Anthrax merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis yang dapat menyebabkan kematian pada hewan dan manusia. Pada perang dunia pertama, tentara Jerman menggunakan antraks secara diam-diam menginfeksi ternak dan pakan ternak yang akan diperdagangkan ke negara sekutu yang mengakibatkan kematian 200 bagal pada tahun 1917 dan 1918. Pada perang dunia kedua, Amerika Serikat melakukan eksperimen dengan anthrax. Amerika menyiapkan lebih dari 5.000 bom yang diisi dengan anthrax sebagai persiapan untuk menanggapi kemungkinan serangan dari Jerman. Selain Amerika Serikat, pada tahun 1942 Militer Inggris meledakkan bom anthrax di pulau Gruinard di Skotlandia sebagai bentuk eksperimen anthrax sebagai senjata biologis (CDC, 2020). Pada tahun 2001, transmisi anthrax sebagai senjata biologis kembali terjadi di Amerika Serikat. Sebanyak 21 orang terinfeksi anthrax akibat paparan spora yang dikirim melalui surat, 5 orang yang terinfeksi berakhir meninggal (Mayo Clinic, 2022).

Baru-baru ini, terdapat kasus sejumlah warga di Kabupaten Gunung Kidul terpapar penyakit anthrax. Hal ini disebabkan oleh warga yang mengkonsumsi sapi yang telah mati dan dikubur. Kementerian Kesehatan mencatatkan terdapat 93 kasus warga yang diduga terpapar anthrax, dengan kasus kematian sebanyak tiga orang (CNN, 2023). Oleh karena itu, mari kita kenali penyakit anthrax dan cara pencegahannya.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, anthrax merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri gram positif, Bacillus anthracis. Bakteri ini berbentuk batang (rod-shaped) dan menghasilkan spora yang bertahan pada tanah selama beberapa tahun dalam bentuk tidak aktif (hidup, tetapi tidak berkembang biak). Ketika spora ini masuk ke dalam tubuh hewan atau manusia, bakteri menjadi aktif, dapat berkembang biak, dan menghasilkan toksin. Toksin inilah yang menyebabkan penyakit pada hewan dan manusia. (CDC, 2022)

Terdapat beberapa jenis anthrax berdasarkan cara penularan bakteri ke tubuh. Umumnya, anthrax masuk ke tubuh melalui kulit, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan.

  • Cutaneous anthrax, atau anthrax kulit merupakan infeksi anthrax yang paling umum terjadi dan paling tidak berbahaya. Penyakit ini menyerang permukaan kulit dan jaringan di sekitarnya, ditandai dengan kulit bengkak kemerahan. Setelah 1–2 hari, bagian terinfeksi tersebut berubah menjadi luka terbuka yang tidak sakit dengan bagian tengah menghitam seperti terkena gigitan serangga.
  • Inhalation anthrax, atau anthrax pernapasan merupakan infeksi anthrax yang paling berbahaya. Spora anthrax yang terhirup masuk ke alveolus pada paru-paru, kemudian masuk ke nodus limfa mediastinal melalui sistem limfatik. Toksin yang dihasilkan di sana juga dapat menyebar ke seluruh tubuh. Infeksi ini dapat menyebabkan masalah pernapasan yang parah hingga syok.
  • Gastrointestinal anthrax, terjadi akibat mengonsumsi daging belum matang dari hewan yang terinfeksi. Penyakit ini dapat menginfeksi saluran pencernaan, mulai dari kerongkongan hingga kolon. Beberapa masalah pencernaan, seperti pusing, muntah, kehilangan nafsu makan, dan sebagainya dapat terjadi.
  • Injection anthrax, yaitu jenis anthrax yang baru ditemukan di Eropa. Infeksi ini terjadi akibat paparan melalui injeksi heroin. Gejala yang ditimbulkan mirip dengan cutaneousa anthrax, tetapi infeksi juga mungkin terjadi pada jaringan kulit lebih dalam atau juga otot tempat obat diinjeksikan.

Di Indonesia, anthrax sering dijumpai pada sapi, kerbau, kambing, domba, kuda dan kadang pada babi. Umumnya anthrax menyerang hewan pada musim kering / kemarau, karena rumput sangat langka, sehingga sering terjadi hewan ternak memakan rumput yang tercabut sampai akarnya. Berdasarkan penelitian yang selama ini telah dilakukan, pada manusia, dilaporkan tingkat kematian mencapai 18 persen. Di Indonesia, anthrax pertama kali ditemukan di Teluk Betung Provinsi Lampung pada tahun 1884. Pada tahun 1 885 dilaporkan terjadi anthrax di Buleleng (Bali), Rawas (Palembang) dan Lampung. Sejumlah 14 provinsi di Indonesia dinyatakan sebagai daerah endemik antraks yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), NUsa Tenggara Timur (NTT), Sumatera Barat, Jambi, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Selama tahun 2015–2016 terjadi total kasus antraks manusia tanpa kasus kematian. Sebagian besar penderita merupakan laki-laki 61% dan berumur > 15 tahun (93%).

Pada tahun 2017 total sebanyak 77 kasus antraks pada manusia dilaporkan kasus tersebut tersebar di lima provinsi yaitu DI Yogyakarta sebanyak empat kasus dengan satu kasus meninggal, Jawa Timur sebanyak 25 kasus, NTT sebanyak satu kasus, Sulawesi Selatan sebanyak dua kasus dan Gorontalo sebanyak 45 kasus (CFR 1,59%). Pada tahun 2018, sebanyak sembilan kasus anthrax pada manusia. dilaporkan dengan persebaran delapan kasus di Jawa Timur dan satu kasus di Sulawesi Selatan. Provinsi lain tidak lagi ditemukan kasus anthrax pada manusia akan tetapi masih merupakan daerah endemis anthrax yang berpotensi menyebabkan kasus pada manusia jika tidak dilakukan pengendalian pada sektor kesehatan manusia maupun hewan. Setelah ditemukannya kasus anthrax di Gunung Kidul pada tahun 2020 dan 2022, baru-baru ini kasus anthrax kembali ditemukan di Gunung Kidul.

Sumber penularan anthrax dapat melalui :

  • Menghirup spora anthrax
  • Mengkonsumsi makanan atau air minum yang terkontaminasi oleh spora anthrax
  • Spora anthrax mengenai goresan di kulit.

Terdapat beberapa aktivitas yang dapat meningkatkan resiko terkena anthrax, yaitu bekerja dengan hewan atau produk hewan seperti seperti wol, kulit, atau rambut hewan yang terinfeksi anthrax. Memakan daging dari hewan yang positif anthrax juga dapat menyebabkan anthrax. Sehingga dapat disimpulkan penularan anthrax terjadi melalui kontak dengan hewan atau mengkonsumsi daging hewan yang positif anthrax. Anthrax tidak dapat menular dari manusia ke manusia seperti penyakit pilek atau flu. Dalam kasus yang jarang terjadi, penularan dari manusia ke manusia telah dilaporkan dengan anthrax kulit, di mana pelepasan dari lesi kulit mungkin menular (CDC, 2020)

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat beberapa jenis anthrax berdasarkan cara masuk bakteri ke dalam tubuh. Tanda dan gejala yang ditimbulkan juga berbeda sesuai dengan cara masuk bakteri tersebut.

  • Untuk anthrax yang masuk melalui kulit, akan terbentuk benjolan yang gatal, pembengkakan pada bagian yang luka dan dekat nodus limfa, serta gejala flu, demam, dan sakit kepala. Infeksi akan terjadi dalam 1–7 hari setelah paparan. Pada tahap ini, benjolan berubah menjadi luka terbuka yang tidak sakit dengan bagian tengah hitam seperti bekas gigitan serangga.
  • Untuk anthrax pernapasan, akan terjadi masalah pernapasan, seperti gejala flu, sakit tenggorokan, demam, lelah otot, sesak napas, mual, muntah darah, kesulitan menelan, kesulitan bernapas, syok, hingga meningitis. Infeksi dapat terjadi 1 minggu hingga 2 bulan setelah paparan.
  • Untuk anthrax gastrointestinal, akan terjadi gangguan pencernaan, di antaranya mual, muntah, sakit perut, sakit kepala, kehilangan nafsu makan, demam, kesulitan menelan, sakit tenggorokan, pembengkakan pada leher, hingga diare berdarah. Infeksi biasanya terjadi dalam 1–7 hari setelah paparan.
  • Untuk anthrax injeksi, tanda dan gejala yang timbul mirip dengan anthrax kulit karena cara masuk bakteri yang sama, yaitu melalui kulit. Infeksi juga dapat terjadi di bawah kulit atau di otot tempat obat diinjeksikan. Anthrax jenis ini dapat menyebar lebih cepat dan gejalanya sulit diketahui.

Tanda dan gejala yang ditimbulkan oleh bakteri anthrax tidak berbeda jauh dengan infeksi bakteri lain. Oleh karena itu, jika seseorang memiliki faktor risiko terpapar bakteri anthrax dan terjadi gejala ringan seperti gejala-gejala flu, sesegera mungkin periksakan ke dokter untuk diagnosis lebih lanjut.

Jika telah terjadi komplikasi, berikut beberapa tanda-tanda serius: tubuh yang tidak dapat merespons infeksi secara normal sehingga menyebabkan kerusakan pada banyak sistem organ (sepsis). Selain itu, terjadi inflamasi pada selaput dan cairan yang menutupi otak dan sumsum tulang belakang sehingga terjadi pendarahan hebat (meningitis hemoragik), hingga kematian.

Penularan anthrax dari hewan ke manusia dipengaruhi oleh ekonomi lingkungan, sosial dan dapat juga dari perilaku masyarakatnya. Perilaku masyarakat yang mengonsumsi atau menjual daging hewan terinfeksi yang mati atau menggunakan produk dari hewan dapat meningkatkan peluang terjadinya infeksi anthrax. Hal tersebut umumnya dilatarbelakangi oleh kurangnya pengetahuan masyarakat, budaya setempat, kemiskinan, dan masalah ekonomi. Pencegahan infeksi dapat dilakukan dengan menghindari daerah yang kemungkinan terkontaminasi spora anthrax. Upaya pencegahan penyebaran anthrax yang dapat dilakukan yakni dengan melakukan vaksinasi ternak secara rutin setiap tahun atau sesuai rekomendasi dari instansi berwenang, menghindari kontak langsung dengan hewan yang terduga terinfeksi anthrax, mematuhi SOP dan aturan dari instansi berwenang jika akan menambah jumlah ternak baru, memasak daging hingga matang sempurna, melaporkan kepada petugas kesehatan apabila menjumpai daging yang berlendir, berbau, dan berwarna kusam, memisahkan ternak yang sakit dengan ternak yang sehat, tidak melakukan pembedahan pada bangkai hewan yang mati akibat antraks, dan mengubur hewan mati tersebut pada kedalaman yang cukup. Masyarakat juga harus segera melapor ke pusat kesehatan hewan jika menjumpai hewan ternak yang sakit atau mati mendadak. Selain itu, masyarakat tidak diperbolehkan membawa hewan yang sakit keluar wilayah dan segera membersihkan diri dengan sabun jika secara tidak sengaja melakukan kontak dengan hewan sakit atau mati. Masyarakat juga harus melapor dan memeriksakan diri ke puskesmas atau fasilitas kesehatan terdekat jika menemukan gejala anthrax pada kulit. Adapun aspek pencegahan anthrax yang sangat penting ialah vaksinasi. Beberapa vaksin anthrax untuk manusia sudah dilisensikan dan digunakan di beberapa negara seperti BioThrax® atau Anthrax Vaccine Adsorbed (AVA) dan Anthrax Vaccine Precipitated (AVP)

Cara yang juga dapat dilakukan untuk menurunkan infeksi anthrax pada hewan dan manusia yaitu melakukan kerja multisektoral dan melibatkan peran serta pemerintah, memperkuat surveilans anthrax pada hewan dan manusia, meningkatkan kapasitas petugas kesehatan dan laboratorium, meningkatkan pengawasan dan pengelolaan agen biologis, mengembangkan strategi pengendalian, dan mendorong investigasi kolaboratif ketika terjadi wabah.

Adapun pengobatan antraks ini berbeda-beda rute pemberiannya sesuai dengan rute transmisi penyakitnya ataupun bentuk anthraxnya. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menerbitkan rekomendasi pengobatan antraks dan profilaksis pasca pajanan setelah terjadinya insiden antraks selama tahun 2001 yaitu menggunakan obat antimikroba (antibiotik) seperti amoxicillin, ciprofloxacine, doxycycline, levofloxacin, dan penicillin.

Referensi :

Apresiasi : Grace, Faza, Devi.

Rhamnosa

Edukasi isu kefarmasian dan kesehatan HMF 'AP' ITB